Jakarta – Nomor Induk Kependudukan (NIK) resmi berfungsi menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), setelah RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan ditandatangi oleh Presiden Joko Widodo (29/10) menjadi UU No. 7 tahun 2021. Integrasi NIK dan NPWP ini akan menjadi Single Identity Number (SIN) yang membantu sinkronisasi, verifikasi, dan validasi dalam rangka pendaftaran dan perubahan data wajib pajak sekaligus untuk melengkapi database master file wajib pajak.
Nantinya Ditjen Pajak akan memiliki akses terhadap data dan informasi yang berkaitan dengan pelaporan pajak seperti kegiatan usaha, peredaran pajak, penghasilan/kekayaan, transaksi keuangan, lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan/kegiatan usaha dari pihak ketiga. Adanya integrasi ini diharapkan mampu meningkat tax ratio karena mampu mendorong kepatuhan pajak dengan sistem self-assessment. Melalui integrasi ini, wajib pajak akan makin sulit untuk memalsukan nominal pajak.
Mengutip dari Sri Mulyani, integrasi NIK dan NPWP ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan dan diprediksi akan selesai dalam 2024, hal ini dikarenakan setiap penduduk Indonesia memiliki 40 nomor identitas berbeda yang tersebar di berbagai lembaga dan instansi. Tidak hanya itu, di lapangan sering ditemukan pula NIK fiktif dan ganda yang menghambat proses integrasi.
Apakah Semua Penduduk Menjadi Wajib Pajak?
Munculnya wacana integrasi NIK dan NPWP memicu kekhawatiran masyarakat Indonesia mengenai kewajiban membayar pajak namun hal ini langsung ditepis oleh Suryo Utomo, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu. Pada dasarnya, integrasi ini hanya akan berlaku untuk wajib pajak orang pribadi dan ketentuan wajib pajak akan tetap sama. Wajib pajak orang pribadi adalah mereka yang berpenghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yaitu yang memiliki penghasilan lebih dari 54 juta setahun atau 4,5 juta per bulan. Pada akhirnya, NIK ini akan memiliki fungsi yang sama dengan NPWP saat ini yaitu sebagai alat identifikasi penduduk.
Sumber : Pajakku